Mulai tahun depan ibu kota Indonesia akan pindah ke IKN, bagaimana gagasan Kang Emil soal posisi Jakarta ke depan?
Yang paling kasihan ya kalau Jakarta tidak lagi ibu kota itu artis-artisnya. Dulu kan ada artis Ibu Kota, lebih mahal fee-nya, sekarang jadi artis daerah. Mba Luna Maya menjadi artis daerah, bukan artis Ibu Kota.
Kalau begitu artis-artis harus pindah dong ke Kalimantan?
Iya, kalau mau disebut artis Ibu Kota, pindahlah ke IKN gitu. Di kampung-kampung kan gitu kalau konser, akan datang artis Ibu Kota, itu mah joke-nya ya.
Tapi ini keputusan saya cerita sejarahnya dulu. Jakarta itu dulu wilayah Jawa Barat, sebelum tahun 1950 Jakarta itu adalah sebuah kota di Jawa Barat. Kebetulan bertakdir menjadi tempat proklamasi, tapi administrasinya itu masih Jawa Barat. Tahun 1950-an lahirlah Undang-Undang DKI, maka Jakarta diikhlaskan oleh Jawa Barat berpisah ya membentuk namanya Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Agak unik kenapa? Kota tapi disebut provinsi kan? Kalau provinsi kan harusnya ada desa, ada kabupaten, nah ini kan nggak. Makanya di Jakarta tidak ada desa, kalau saya ada desa. Pada saat tahun depan tidak berstatus lagi DKI menjadi DKJ, Daerah Khusus Jakarta, sebenarnya tidak ada yang berubah secara keseharian, orang tetap kerja, nyari nafkah gitu kan, cuma judul administrasinya saja ya.
Dan ibu kota yang sukses itu butuh waktu puluhan tahun. Apa adanya ya, mungkin 10-15 tahun, 20 tahun Jakarta masih strong ya? Nggak bisa, karena sebuah peradaban itu butuh kadang-kadang ratusan tahun kan untuk menjadi luar biasa gitu.
Makanya IKN itu lima tahun pertama lebih pada energi pemerintahannya saja yang bergeser, Jakarta jadi lebih leluasa karena perkantoran-perkantoran pemerintahnya tidak di sini lagi. Pertanyaannya, berarti kan nanti kantornya kosong-kosong tuh?
Kantor Kementerian Keuangan, Kemenko, nah itulah nanti jadi apa? Ya pasti jadi ekonomi, jadi komersial. Maaf ya, mungkin dulu gedung kementerian anu sekarang jadi hotel bintang lima. Jadi Jakarta mah ekonomi saja, dan itu sudah betul.
Di Amerika itu, contoh ya, pusat bisnis sama ibu kota itu dipisah. Ibu kota Washington DC, pusat bisnis New York. Di Provinsi California, ibu kotanya Sacramento namanya, pusat bisnisnya Los Angeles, San Fransisco gitu. Kalau pusat pemerintahan dicampur bisnis banyak hal negatif sebenarnya.
Contoh ya Jakarta didemo kan, bisnis berhenti kan, macet sana macet sini. Kenapa? Lagi demo di Senayan, lagi demo di Istana dan sebagainya, kenapa? Karena demonya politik di lingkungan bisnis, jadi bisnisnya berhenti, makanya nggak bagus.
Jadi keputusan ini sebenarnya banyak bagusnya dan seseorang harus ngambil keputusan, ya Pak Jokowi mengambil keputusan itu dan bukan ide Pak Jokowi ya saya ingatkan, ini ide Bung Karno. Bung Karno itu dari dulu sudah memikirkan kita harus punya ibu kota baru di Kalimantan kan?
Bedanya menurut analisa planologinya zaman Bung Karno yang dipilih Palangkaraya, tapi sekarang dipilih IKN di Penajam Paser Utara karena dekat dengan air, itu lebih baik, itu poinnya supaya akses logistik akses macam-macam.
Ada dua masalah di Jakarta yang tidak bisa kita pungkiri selalu ada setiap tahunnya, yaitu banjir dan macet.
Sekarang tambah jadi 3, polusi.
Oke banjir, macet, polusi. Nah apa formula yang misalnya Kang Emil bisa siapkan untuk mengatasi semua itu?
Saya belum punya jawaban karena kan saya Gubernur Jawa Barat dulu ya. Tapi gini, tidak ada masalah yang tidak terselesaikan, yang ada itu masalah itu selesai dengan harga mahal atau murah, itu saja.
Jadi banjir bisa selesai ya, contoh ini harganya mahal ya, air potensi banjirnya kan sudah dibendung di zaman saya. Bersama Pak Jokowi kita kan bikin dua bendungan tuh, Bendungan Ciawi dan Sukamahi di Bogor supaya airnya parkir dulu. Hujan nih, kalau dulu kan main gelontor- gelontor aja ke Ciliwung bikin banjir, ini tahan dulu sekian waktu itu kan sudah mengurangi.
Nah, jadi poin saya masterplan ngurangin banjir itu sudah ada. Tinggal mungkin di gubernur berikutnya dikebut, itu saja. Jadi nggak ada solusi baru. Contoh, air sebelum lurus dia belok dulu di Kanal Barat, Kanal Timur kan, ibarat muter dulu penyodetan apa itu maksudnya supaya air nggak berkumpul. Nah, di zaman Pak Heru sebagai Pj ternyata ada percepatan.
Poinnya masterplan anti-banjir itu sudah ada, kalau ditanya solusi ke saya, percepatan saja, kebut pembangunan solusi banjirnya, bukan suruh cari gagasan lagi hal-hal baru. Orang pintar sudah banyak mikirin anti-banjir gitu kan.
Kemacetan juga sama, kemacetan itu menimbulkan juga masalah ketiga tadi kan polusi ya. Makanya saya ikutan nih sebelum beres gubernur bagaimana ngatasin polusi, salah satunya pola kerja memang harus diubah juga.
Jadi Covid-19 memberi pelajaran, bisakah manusia produktif tanpa harus selalu ke kantor? Bisa, walaupun tidak untuk semua sektor. Waktu saya di Jawa Barat saya bikin peraturan, PNS saya pun di Jawa Barat ya bukan DKI, sudah boleh work from home asal dia memenuhi kriteria, dikasih pola 3-2, 3 ke kantor 2 di rumah, 4-1, 4 di rumah 1 ke kantor dan lain sebagainya.
Sehingga pergerakan kan berkurang gitu. Jam kedatangan bisa diubah, ada yang pagi datangnya jam 7 jam 8 ngantornya, ada yang ditelatin mungkin datang jam 10, tapi yang jam 10 pulangnya lebih malam. Yang ngantor datang pagi pulangnya lebih cepat, Ashar misalnya.
Nah, pola-pola itu secara kreatif harus mulai dilakukan sambil menyempurnakan transportasi publik supaya kelas menengah jangan selalu naik mobil, kelas menengah naik public transport.
Karena saya pernah tinggal 7 tahun di luar negeri ya, Singapura, Hong Kong, Amerika, saya nggak pernah beli mobil walaupun saya mampu. Karena di negara itu mobil bukan selalu jadi simbol keharusan, malah kadang-kadang ribet gitu kan parkir mahal, ya sudah saya naik MRT, saya naik bis, kepepet naik taksi gitu.
Jadi dengan memperbanyak public transport sebenarnya juga bisa mengurangi polusi ya?
Ya untuk kelas menengahnya diperbanyak campaign di situ, pola kerja diubah kan begitu ya. Terus tata ruang juga, tata ruang itu begini, kota yang paling baik itu adalah tinggalnya di situ, kerjanya di situ, ngemalnya di situ. Jangan tinggalnya di A kerjanya di B terus ngemalnya di C.
Contohnya ada, namanya Kelapa Gading, kalau Anda orang Kelapa Gading itu sudah benar. Tinggalnya di Kelapa Gading, ngantornya di Kelapa Gading, malnya di Kelapa Gading. Kalau semua berpikiran seperti itu maka pergerakan bisa diminimalisir.
Tinggalnya di PIK, ngantornya di PIK, belanja dan ngemalnya di PIK, sudah di situ saja. Nanti lintas wilayah mau ke Kemang mau ke mana kalau kepepet saja. Tapi hari-hari kalau bisa hidupnya begitu, di wilayahnya saja.
Kalau sekarang kan tinggalnya di Utara, ngantornya di Selatan, ngemalnya di Barat, ya macetlah.
Quoted From Many Source